Selasa, 27 Desember 2011

Tokoh Pemimpin Militeristik

Kaisar Hirohito 

Ia adalah kaisar yang dicintai rakyat ini dikenal juga sebagai manusia “setengah” dewa. Atau dewa yang turun ke bumi. Namun tidak urung ada yang sangat tidak menyukainya. Sebuah koran kuning di Inggris The Sun dan The Star dalam salah satu tulisannya secara terang-terangan menyatakan dendam kepada Sang Kaisar. Dan koran itu menganggap kesalahan terbesar yang dilakukan Kaisar Hirohito adalah tidak mencegah militerisme Jepang dalam Perang Dunia II. Padahal ia bisa melakukan hal itu hanya dengan satu lambaian tangan. “Bukankan ia bagaikan Tuhan di mata rakyatnya?” tanya The Sun. Sedang The Star menyamakan Hirohito dengan Adolf Hitler. Militerisme Jepang yang kemudian berambisi menggelar jajahan memang sangat menyakitkan rakyat di banyak negara Asia. Rakyat Indonesia termasuk korban yang cukup parah dalam ambis Jepang tersebut. Banyak kalangan kemudian berpendapat, Kaisar Hirohito harus ikut bertanggung jawab atas semua ironi itu. Namun orang juga mengakui bahwa Hirohito telah melakukan hal yang terpuji pada saat Jepang berada di ambang kekalahan, menjelang akhir Perang Dunia II. Barangkali jika Kaisar diam saja, Jepang dan rakyatnya akan hancur. Saat itu pertengahan tahun 1945. Kabinet Jepang dan para petinggi militer bersikeras untuk tidak menyerah, walau sudah berkali-kali mendapat ultimatum Amerika Serikat dan sekutunya. Mereka tetap bersikukuh untuk melanjutkan perang sampai titik darah penghabisan.
Presiden AS Truman dan PM Inggris Churchill terus mengeluarkan ultimatum agar Jepang menyerah. Namun PM Jepang Suzuki menolak. Tentu saja Amerika marah dan kemudian “menghukum” Jepang dengan menjatuhkan bom atom di Hiroshima, 6 Agustus 1945. Seluruh kota menjadi luluh-lantak. Tiga hari kemudian bom dijatuhkan di Nagasaki yang membuat kota itu berantakan. Pada 9 Agustus itu juga Kabinet Jepang bersidang untuk mengambil sikap berkaitan dengan pemboman tersebut. Hasilnya tidak ada kata menyerah dan Jepang tetap akan melanjutkan perang.
Kaisar Hirohito melihat jika kabinet tetap bersikeras tidak mau menyerah, seluruh Jepang akan hancur akibat perang. Sang Kaisar melihat betapa menderitanya rakyat Jepang. Dan mereka akan lebih menderita lagi jika Jepang tetap melanjutkan perang pada saat kekalahan sudah di ambang pintu. Kaisar kemudian mengambil oper persoalan yang dihadapi Jepang. Hirohito yang sesungguhnya tidak mempunyai kekuatan untuk mengambil keputusan penting tanpa persetujuan Kabinet, nekad mengumumkan penghentian perang. Kalau ingin rakyat selamat, maka perang harus dihentikan. Itu kata hati Kaisar. Secara dramatis ternyata keputusan Kaisar itu dipatuhi para prajurit dan rakyat. Pada waktu itu mayoritas rakyat Jepang sesungguhnya sudah jijik terhadap perang yang dilakukan oleh tentara mereka. Banyak prajurit kemudian mengambil jalan lain, melakukan harakiri demi kehormatan pribadi, negara, dan raja. Dengan sekuat tenaga Kaisar berusaha menghentikan gelombang bunuh diri itu. Rakyat melihat apa yang dilakukan Kaisar merupakan sikap dan tindakan mulia.
Banyak sejarawan berpendapat sesungguhnya Hirohito tidak menyukai perang. Hanya saya Kaisar tidak mempunyai kekuasaan atas militer. Maka terjadilah petualangan bala tentara Jepang yang kemudian berakhir dengan tragis itu. Ketika para pemimpin militer menghadap pada 1941, untuk memutuskan apakah Jepang ikut terjun atau tidak di kancah perang, Kaisar tidak memberikan jawaban secara jelas. Pada masa itu ia sudah menyerahkan urusan politik negara kepada para pembantu dekatnya. Sedang ia sendiri lebih suka berperan sebagai pemimpin tertinggi agama Shinto, Arahitogami. Para pembantu dekat itulah yang membawa Jepang ke kancah perang. Namun di luar negeri ada anggapan, Kaisar sebagai orang pertama yang harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Seperti yang ditulis The Sun dart The Star, dua koran Inggris itu.
Hirohito lahir 29 April 1901 di Tokyo, tepatnya di Istana Aoyama. Ia tercatat sebagai kaisar ke-124 selama lebih dari 2 ribu tahun sejarah kekaisaran Jepang. Orangtuanya Kaisar Taisho dan Permaisuri Sadako. Usia 3 tahun ia harus dipisahkan dengan kedua orangtuanya dan diasuh oleh keluarga Suniiyoshi Kawamura. Sebagai calon kaisar. Hirohito mendapat pendidikan secara keras. Ia sekolah di Gakushuin, sekolah khusus untuk para bangsawan. Untuk menggembleng jasmani ia berlatih di Bushido. Hirohito diangkat menjadi putera mahkota tahun 1916 dan 1926 dinobatkan menjadi kaisar. Setelah Jepang kalah perang. Hirohito nyaris diadili karena dituduh telah mengobarkan perang. Tapi Panglima Tertinggi Tentara Sekutu di Jepang, Jenderal McArthur, menyelamatkannya dengan menolak usul beberapa pihak yang tergabung di klaim Sekutu agar Kaisar diadili. Kemudian lahirlah Konstitusi 1947 yang mengatakan bahwa Hirohito tidak lagi punya kekuasan atas politik di Jepang. Ia lebih sebagai simbol pemersatu Jepang. Dalam Konstitusi tersebut juga dinyatakan Kaisar sebagai lambang negara dan lambang persatuan rakyat, yang memperoleh kedudukannya dari kehendak rakyat. Fungsi Kaisar dilukiskan semata-mata lambang. Dan dengan jelas dinyatakan bahwa Kaisar “tidak akan memiliki kekuasaan yang berhubungan dengan pemerintahan”. Supaya persoalan jadi lebih jelas Konstitusi menambahkan bahwa “nasihat dan persetujuan Kabinat harus diminta untuk semua tindakan Kaisar dalam soal-soal negara, dan Kabinat harus bertanggung jawab karena hal itu.”
Jepang sebagai negara yang kalah perang memiliki rakyat yang suka berkelompok dan bekerja keras. Tidak terlalu lama setelah dihancurkan Sekutu, mereka bangkit dan beberapa tahun kemudian menjadi negara maju dan kaya. Jepang termasuk salah satu negara di dunia yang tergabung dalam G-10, yakni sepuluh negara terkaya di dunia. Jepang juga termasuk negara yang banyak membantu negara lain. Banyak orang menduga, Jepang cepat maju karena mereka tahu apa artinya penderitaan. Padahal setelah perang berakhir, rakyat Jepang benar-benar menderita. Mereka harus kuat menahan lapar dan dingin. Dalam tahun-tahun awal sesudah perang, ketika pangan amat sangat kurang dan ekonomi bisa dibilang lumpuh, rakyat yang kelaparan mencoba menanam apa saja di antara reruntuhan kota dan di mana pun tanah bisa ditanami. Mereka mencoba tetap kuat dan terus bertahan, dan ternyata mereka kuat.
Sehubungan dengan militerisme Jepang yang dahsyat, orang luar boleh saja kecewa terhadap Hirohito, namun di dalam negeri ia tetaplah manusia yang amat dicintai rakyatnya. Hal itu tampak sekali ketika Kaisar sakit pada bulan Oktober 1988. Setiap hari tidak terhitung orang dari pelosok negeri, tanpa menghiraukan cuaca dingin dan hujan lebat, datang untuk memanjatkan doa di depan Istana demi kesembuhannya. Dan hal itu juga dilakukan generasi muda Jepang yang sebelumnya dianggap sebagai golongan yang tidak mau peduli kepada Kaisar dan keluarga istana. Fenomena itu cukup mengejutkan. Kaisar Hirohito meninggal pada usia 87 tahun. Pada saat meninggalnya seluruh Jepang berduka, tidak peduli siapa mereka. Apakah mereka anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Semuanya menangisi kepergian “Sang Dewa”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar